Saturday, July 11, 2009

Ketika kau pertanyakan cintaku....hiks hiks hiks

Suamiku adalah seorang insinyur, aku mencintai sifat apa adanya yang alami. 3 tahun masa pra nikah dan 5 tahun masa-masa pernikahan hingga saat ini. Sekarang, harus aku akui, bahwa aku mulai merasa lelah dengan semua ini, alasan-alasanku mencintainya pada waktu dulu telah berubah menjadi sesuatu yang tak menakjubkan lagi.


Aku seorang wanita yang sentimentil, benar-benar sensitif dan berperasaan halus. Aku merindukan saat romantis seperti seorang anak kecil yang menginginkan permen. Sering aku berfantasi dan membayangkan suamiku bisa menjadi seperti pria-pria romantis di film-film, bahkan membandingkannya dengan mantan pacar-pacarku yang terdahulu. Namun suamiku bertolak belakang, rasa sensitifnya kurang. Ketidakbecusannya menciptakan suasana romantis dalam pernikahan kami telah mematahkan harapan dan impianku tentang cinta. Dia orang yang terlalu apa adanya dan jauh dari romantis..


Suatu hari, akhirnya aku memutuskan untuk mengatakan kepadanya bahwa sayang menginginkan perceraian. “Mengapa?!” dia bertanya dengan terkejut. “Aku lelah, kamu tak pernah mau mengerti keinginanku!” jawabku seadanya. Dia terdiam dan termenung sepanjang malam. Kekecewaanku semakin mendalam. Seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya? Apa lagi yang bisa aku harapkan dari dirinya?


Keesokannya dia bertanya kepadaku “Apa yang dapat aku lakukan untuk merubah pikiranmu?” Seseorang berkata bahwa mengubah kepribadian orang lain sangatlah sulit dan aku menyetujuinya. Aku menjawab pertanyaannya “Aku punya pertanyaan untukmu, jika kamu dapat menemukan jawabannya, aku akan berubah pikiran”. Kutatap matanya dalam-dalam sambil berkata “Seandainya, aku menyukai setangkai bunga yang ada di tebing gunung curam dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu tetap akan melakukannya untukku?” Dia terdiam cukup lama dan kemudian berkata “Aku akan memberikan jawabannya besok” Huuuh…. Hatiku diliputi kejengkelan yang luar biasa mendengar responnya.


Esok paginya, dia tak ada di rumah. Aku menemukan selembar kertas dengan tulisan tangannya di bawah sebuah gelas berisi susu hangat bertuliskan: “Istriku sayang….AKU TIDAK MAU MENGAMBILKAN BUNGA ITU UNTUKMU, tetapi ijinkan aku menjelaskan alasannya…” Ya Tuhan! Jawaban itu menghancurkan hatiku, butuh kekuatan lebih untuk aku bisa meneruskan membaca.

“Kamu sering mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di dalamnya dan akhirnya menangis di depan monitor. Aku harus memberikan jari-jariku supaya aku bisa menolongmu untuk memperbaiki programnya. Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar, dan aku merelakan kakiku untuk mendobrak rumah dan membukakan pintu untukmu. Kamu suka jalan-jalan keluar kota tetapi selalu tersesat di tempat-tempat baru, aku harus menjemputmu atau memberikanmu mataku untuk mengarahkanmu saat kamu menyetir mobil. Kamu selalu pegal-pegal pada waktu “teman baikmu” datang setiap bulannya, aku harus memberikan tanganku untuk memijat tubuhmu yang pegal-pegal. Kamu senang diam di rumah dan aku khawatir kalau nanti kamu jadi aneh, sehingga aku memberikan mulutku untuk menceritakan lelucon-lelucon dan berbagai cerita untuk menyembuhkan kebosananmu serta menceritakan berbagai perkembangan dunia agar kamu bisa terus mengikutinya. Kamu senang membaca banyak buku dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, aku harus menjaga mataku agar saat kita tua nanti, aku masih bisa menolong menggunting kukumu dan mencabuti ubanmu, atau memegang tanganmu menelusuri pantai menikmati sinar matahari dan pasir laut yang indah menceritakan warna-warna bunga kepadamu yang bersinar indah seperti wajah cantikmu.”


“Sayangku, aku begitu yakin tak ada orang yang lebih mengenalmu selain diriku, dan tak ada yang lebih mencintaimu lebih dari aku mencintaimu. Aku ingin menjagamu dan bersamamu. Karena itu, aku tak akan mengambil bunga itu lalu mati dan tak bisa lagi bersamamu… Aku ingin menemanimu seumur hidupku, hingga usai masa, hingga akhir segala sesuatu, percayalah…aku mengasihimu lebih dari yang kamu duga…” Air mataku jatuh ke atas tulisannya. Aku terlalu menuntutnya menjadi seseorang yang bukan dirinya. Lalu aku membaca sisa terakhir suratnya “Dan sekarang, jika kamu telah selesai membaca jawabanku, jika kamu puas dengan semua jawaban ini, tolong bukakan pintu rumah kita. Aku sekarang berdiri disana dengan segelas susu segar dan roti bakar kesukaanmu”


Aku segera membuka pintu dan melihat wajahnya yang penasaran sambil tangannya memegang segelas susu dan sepiring roti. Oh…aku tak percaya, tak ada orang yang pernah mencintaiku seperti yang dia lakukan kepadaku. Aku tahu aku harus melupakan “romantisme film-film” itu dan berjanji takkan pernah lagi memaksanya untuk memetik “bunga” itu. Aku akan mencintainya dengan tulus, jujur dan apa adanya meski terlihat kurang romantis.
“Jika seseorang tidak mencintai dirimu dengan cara yang kamu harapkan, BUKAN BERARTI dia tidak mencintaimu dengan segala yang ia punya.” Bukankah janji pernikahan adalah tetap mencintai dalam keadaan seperti apapun?


I LOVE RONDO


No comments: